Monday, December 25, 2006

Kenapa harus mereka !?




Saya masih ingat dan selalu mengingat tentang musibah besar yang telah menimpa beberapa daerah di Indonesia dimana Aceh adalah daerah yang bisa dikatakan paling menangis dan mengiris hati setelah sang ombak yang terkenal dengan sebutan “Tsunami” secara membabi buta menyapu pemukiman pesisir dan bahkan sebagian dari kota-kota terdekat waktu itu. Terlihat jelas di tayangan TV dan media masa dimana sang ombak menerjang pemukiman penduduk tanpa ampun, tak mengenal siapa dan apa yang mereka terjang. Tak peduli kaya atau miskin, tak peduli lelaki atau wanita tua bahkan balitapun tak luput dari amukan sang Tsunami. Sejenak terlintas bayangan video yang sempat saya tonton dikamar seorang teman dimana orang-orang berlari terbirit-birit mencoba lepas dari cengkraman sang ombak, mencoba mencari perlindungan namun Sial !! hampir semua dari penduduk gagal lepas dari cengkraman tangan sang ombak yang seakan lebih kuat dari cengkraman sang elang saat menangkap tikus-tikus liar atau cengkraman singa sang raja hutan saat menangkap mangsa-mangsa mereka. Bangsa indonesiapun serentak menangis atas segala apa yang telah menimpa saudara-saudara sebangsa dan setanah air waktu itu. Astaghfirullah…..Ampunilah dosa kami

Tak lama berselang, Jogjakarta yang terkenal sejuk rindang tak luput dari amukan bumi dengan guncangan yang maha dahsyat. Bumi seakan menggeliat mencoba bangun dari tidurnya. Gempa bumi yang maha dahsyat tak ada tandingannya itu tak pernah disangka-sangka kehadirannya bahkan tak pernah memberi isyarat sedikitpun. Hanya dalam hitungan detik, pagi yang masih gelap itu beberapa daerah di jawa tengah diluluh lantakkan hingga rata dengan permukaan tanah. Astaghfirullah….Ampunilah dosa dan berilah tempat disisiMU kepada mereka yang telah binasa atas musibah gempa bumi dan berilah ketabahan dan kesabaran kepada mereka yang ditinggalkan Amin. Lagi-lagi bangsa Indonesia menangis karena harus kehilangan puluhan ribu bahkan ratusan ribu saudara-saudara sebangsa. Hati saya menangis melihat ditayangan CNN dimana saudara-saudaraku disana saat itu berlarian, berhamburan keluar rumah berkumpul dijalanan tuk bisa lepas dari musibah gempa tersebut. Hati semakin terisak setelah teman saya bercerita bahwa ada bahkan banyak dari mereka yang mati saat masih dalam keadaan tertidur lelap menunggu indahnya esok hari yang tak ayal mereka harus tertimpa bongkahan bangunan yang roboh. Akhirnya air matapun tak terbendung lagi memaksa keluar setelah saya menerima kabar adalah keluarga dari teman dekat saya juga menjadi salah satu korban dari mereka yang harus menerima penderitaan yang mengiris hati dan tak mungkin akan pernah lepas dari ingatan. Alhamdulillah mereka selamat dari amukan bumi itu walaupun rumah dan harta benda hilang seketika. Astaghfirullah….ampunilah dosa kami

Kenapa harus mereka yang tak bersalah ? kenapa harus anak-anak kecil yang tak berdosa ? kenapa harus mereka ? kalo benar musibah itu adalah hukuman dariMU ya allah kenapa bukan daerah-daerah yang berlumuran dosa yang diterjang bencana itu, daerah-daerah tempat perjudian, tempat perzinahan, orang-orang kaya yang dzalim, rumah-rumah para koruptor, perampok, penjilat, pembunuh bayaran, tempat-tempat dugem, Bandar, pengedar dan pemakai narkotik!! Andai ombak punya hati nurani, andai dia bisa melihat saya yakin daerah-daerah pendosa tersebut yang akan disapu ratakan dengan tanah dan merekapun tak kan pernah menyentuh sedikitpun tanah mereka yang beriman dan tak berdosa. Sedih dan rasa kecewapun bercampur hingga sempat terlintas keinginan saya tuk bisa mengendalikan ombak tsunami dan gempa tersebut dimana mereka bisa saya tunggangi seperti saat menunggangi kuda, maka akan hanya saya arahkan kepada mereka sang pendosa, lupa daratan, munafik dan sombong. Astaghfirullah….Ampunilah dosa kami

Akhirnya, semoga mereka yang lupa akan senantiasa dingatkan bahwa mereka akan dan pasti mati kembali menghadap dan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya didunia kepada sang penguasa hati. Ingat !! Pesta itu pasti berakhir!! Saya orang yg fakir yang juga tak luput dari salah dan dosa namun selalu mencoba untuk bisa dijauhkan dari segala macam dosa. Semoga siapa saja yang membaca tulisan hati nuraniku ini mau saling mendoakan mereka yang saat ini masih berteman dengan iblis dan setan agar untuk secepatanya sadar dan kembali kepada-Nya

5 comments:

KETOPRAK ART AND EVENT said...

bahasanya seh jaenul banget, setelan 'copy-paste' gitu....
dapet dari mana loe?!!??
ngaku!!!!!
atau gue deface blog loe???

Anonymous said...

jiplak-KKAAN

Jeno said...

Yah itu mah terserah loe aje ye....kalo menurut loe gue jiplak ya berarti gue jiplak....tapi kalo menurut loe itu asli coretan hati nurani gue...berarti itulah adanya...gitchu Bo'....ehh jangan anonymous donk...so that we would know each other...........Othreh!!

KETOPRAK ART AND EVENT said...

Gunung Jangan Pula Meletus



>> KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata
>> mampu mengucapkan kedahsyatannya?
>>Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai
>> kandungannya?
>>
>>
>> Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari
>> salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa
> kubedakan
>> apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka
> oleh
>> ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh
>> lantak terkeping- keping, akan kubunuh.
>>
>>
>> "Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku
>> menyerbu.
>> "Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut
> dengan
>> kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.
>>
>>
>> "Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"
>> "Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh
>> dinikahkan dengan surga."
>> "Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling
>> menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke
>> kubangan
>> kesengsaraan sedalam itu?"
>>
>>
>> "Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya
>> sehingga
>> derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus
>> menjalani kerendahan."
>>
>>
>> "Termasuk Kiai...."
>> Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak
>> dahulu
>> kala. Kuusap dengan kesabaran.
>> "Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak
>> kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa
>> Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh
>> selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"
>>
>>
>> Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari
>> kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.
>> "Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan
>> ketidakadilan Tuhan?" katanya.
>> Aku menjawab tegas, "Ya."
>> "Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"
>> "Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan
> terus
>> mempertanyakan."
>> "Sampai kapan?"
>> "Sampai kapan pun!"
>> "Sampai mati?"
>> "Ya!"
>> "Kapan kamu mati?"
>> "Gila!"
>> "Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan
> kenapa
>> ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak
>> tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga
>> tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa
>> mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu
>> memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya,
> pindah
>> dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!"
>>
>>
>> ""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal
> yang
>> bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan
>> otoriter...."
>>
>>
>> Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
>> Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
>> "Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."
>> "Kewajiban apa?"
>> "Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
>> Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar
> menerimanya,
>> dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah
> satu-satunya
>> yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis
>> berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke
>> tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang
>> kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa
> pun.
>> Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan
>> baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar
>> dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan
>> ini? Sini, sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke
>> tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."
>>
>>
>> "Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.
>> "Pakailah sesukamu."
>> "Emang untuk apa?"
>> "Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."
>> "Sinting!"
>> "Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang
>> terbaik
>> untuk cara berpikir yang kau tempuh."
>> Ia membawaku duduk kembali.
>> "Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk
>> manusia
>> menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.
>>
>>
>> "Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah
>> shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang
>> memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari
>> tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia
> menjahit
>> bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm,
>> lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai
>> Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya
>> dengan
>> batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit
>> sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama
>> diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua
>> dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret
> dengan
>> kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad
> dijamin
>> surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap
>> sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh
>> kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada
> Tuhan
>> setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan
>> kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"
>>
>>
>> Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke
>> belakang.
>> "Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa
>> icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."
>>
>>
>> "Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"
>> "Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."
>> "Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi
>> adalah bahwa kamu pantas diludahi."
>> "Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."
>> "Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim
>> cinta lubuk hati. Kenapa?"
>> "Aceh, Kiai, Aceh."
>> "Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
>> Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan
>> oleh
>> Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga
>> dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara
>> mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah
>> medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena
>> sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali
>> kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga
>> mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama
> ini.
>> Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang
>> memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu,
>> sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan
>> kedua
>> pihak".
>>
>>
>> "Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar
>> dibayangkan akan mampu tertanggungkan."
>> "Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang
> tidak
>> mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang
> dulu
>> Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak
>> ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan;
>> sementara yang sebaliknya adalah keburukan- berhentilah memprotes Tuhan,
>> karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu
>> kehidupan berhenti ketika kamu mati."
>>
>>
>> "Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara
>> membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat
>> sejahtera?"
>>
>>
>> "Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka
>> kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa
>> dan
>> kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru
>> Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati
>> karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"
>>
>>
>> "Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri,
> Kiai,
>> tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan
>> yang
>> disuguhkan oleh perilaku Tuhan."
>>
>>
>> "Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku
>> Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit
> itu
>> sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya
>> penuh
>> penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi
>> penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh
>> lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu
>> adalah
>> pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan
>> dan
>> pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."
>>
>>
>> "Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."
>> "Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang
>> hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski
>> ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan
>> bersyukur."
>>
>>
>> "Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"
>> "Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka
> sehingga
>> selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik
>> berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih
>> tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak
>> menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk
>> memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh
> belum
>> mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
>> kemungkinan...."
>>
>>
>> "Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri
>> membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
>> "Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan
>> ngeloyor
>> meninggalkan saya.
>> "Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar
>> beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."
>>
>>
>> "Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan,
>> kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"
>> Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.


emha ainun najib

Luvyuyun said...

Andri... barusan gue mau nanya itu cerpen ngopi dari mana? Eh.... ternyata emha ainun najib ya. Gue copy boleh kan. It's so inspiring!